≈ KoKi Post – Old Gum Tree ≈
Berawal dari tulisan "berbau eseK-eseK"
MarisKa Lubis (ML) yang mengantungi “banyaK” hits/KliK dan Komentar, sejumlah artiKel Kambuhan bernuansa seKs pun bercungulan di Kompasiana. BanyaKnya KliK di tulisan ML secara umum dapat diKataKan sebagai ungKapan positip, mesKipun ada terselip Komentar/pertanyaan yang oleh penulisnya diKategoriKan “porno” dan telah (segera?) dihilangKan oleh Pepih Nugraha (PN) selaKu admin, atas permintaan ML. Namun taK sediKit tanggapan yang Kontra dan direspon dalam bentuK artiKel.
Sebelumnya, tulisan
bocahndeso yang membahas (dan mem-forward linK) berbau seKs sempat menyandang 'the most popular article' untuK beberapa lama di Kompasiana. Dibaca lebih dari tiga belas ribu Kali tepatnya 13259 Kali. (MengalahKan KliK di artiKel postingan Asmod KoKisiana yang menjawab Komplen salah satu pengelola Kolom di KoKi.) Sebagai anonym*, mungKin “KepaKaran” bocahndeso ini agaK diraguKan oleh sebagian orang, yang serta merta menyuaraKan beberapa hal negatip seperti, sempat-sempatnya liat dan nge-linK situs gituan atau disinyalir turut berperan aKtif dalam menyebarKan “fitnah”. Apa dan seberapa penting peran KepaKaran seseorang dalam dunia tulis-menulis (yang berbasis CJ “non honor?”).
Latahnya beberapa Kompasianer yang terjun dalam penulisan “eseK-eseK” ini membuat Abdi Dharma gerah dan mempertanyaKan apaKah
Kompasiana Sudah Berubah Menjadi “Kompas-Sexiana?”. Merespon “tudingan” berubahnya Kompasiana menjadi Kompas-Sexiana, PN meneKanKan pentingnya
Punya Pendirian. MaKsudnya adalah menghimbau agar Kompasianer tidaK latah mengiKuti tulisan yang sedang “in” itu. PN memberiKan dan membiarKan porsi bertemaKan seKs pada ahli di bidang tersebut saja. Dengan menyebut beberapa nama, jelas terbaca bahwa PN meneKanKan KepaKaran yang dilatar-belaKangi pendidiKan aKademis.
“Maka, kita dengan mudah melihat kualitas tulisan yang hanya mengikuti tren (baca latah) padahal penulisnya kita tahu bukan ahli/pakar masalah seks, misalnya. Di dunia ini ada orang-orang seperti Naek L Tobing, Wimpie Pangkahila, Boyke Dian Nugraha, dan Mariska Lubis, yang kalau menulis mengenai seks, kepakarannya tidaklah diragukan lagi. Biar sajalah mereka menulis hal-hal yang mereka kuasai, biarkan juga mereka menjadi ngetop karena kepakarannya itu.”Dengan tidaK bermaKsud meraguKan Kredibilitas sebut saja Naek L Tobing sebagai contoh, pertanyaannya adalah: ApaKah Keahlian seseorang hanya bisa diuKur dari latar belaKang pendidiKan formalnya? Ahli dalam suatu bidang ilmu tertentu tidaK menjamin bahwa orang itu pandai menulis. Kalaupun orang itu mahir menulis, belum tentu dia mau menulis artikel sesuai "kepaKarannya". MungKin dia taK ada waKtu. Kalaupun dia mau menulisKannya dan ada Kesempatan, mungKin dia miKir-miKir dulu atau pilih-pilih mau nulis dimana. MungKin dia hanya mau menulis dengan imbalan honor. MungKin dia mau menulis Kalau ada editor yang friendly (dan punya PENDIRIAN), atau apabila ada jantung hatinya, atau mungKin dia malah alergi Kalau tulisannya harus melalui screening/editing oleh editor yang ngga Ketahuan “KepaKarannya” (mana dah ditulis capeK2 ngga ada honornya, diKomentari OOT, ditempelin foto yang “ngga jelas” atau yang ngga “matching”, diwajibKan merespon lagi! ~KhiK~KhiiK~KhiiiK~).
SebaliKnya, ada penulis yang telah ber-CJ sesuai anjuran PN, yaKni memilih untuK membuat tulisan yang bermanfaat bagi KhalayaK ramai, "bukan sekadar memuasakan (sic) diri sendiri!" (Tentunya buKan untuK memuasKan Admin-nya juga.) ML dicontohKan sebagai seorang "paKar" yang berusaha untuK mempopulerKan bidang Keahliannya dengan "menyederhanakannya" agar tidak terkesan "vulgar" sehingga exposurenya bisa lebih luas dapat diterima masyaraKat awam. (Padahal sih hal-hal begituan sudah menjadi pembicaraan semua mahKluK hidup dewasa.) PN pun terang-terangan mengaKui bahwa "Kompasiana Perlu MarisKa-MarisKa Lainnya."
Lha Mariska-Mariska Lain itu buKannya sedang berusaha “mendeKati Mariska”? sehingga bermunculanlah tulisan yang “sejenis”? BuKanKah perlu waKtu juga untuK belajar dan berusaha menjadi "paKar" seperti Mariska tanpa perlu menjadi Mariska? BuKanKah perlu proses untuK menjadi penulis/(citizen) journalist yang punya pendirian?
Sebagai wartawan senior dengan jam terbang pelatihan Kepenulisan maupun jurnalistiK yang tinggi, “mantra” yang sering PN KemuKaKan, again and again, adalah “hendaklah menulis sesuai minat dan kepakaran masing-masing!” dan “tulislah hal-hal yang Anda suka dan yang Anda kuasai.” AKoe cenderung setuju dengan pernyataan Kedua (yang Anda suKa dan yang Anda Kuasai). MenurutKoe, untuk MENGUASAI suatu hal, seseorang taK perlu menjadi paKar. Sementara itu seorang PAKAR sudah semestinya menguasai. ArgumentasiKoe Kembali pada writing sKills seseorang dan willingness to write yang KoesebutKan sebelumnya. Tambahan lagi … KataKanlah ada pakar menguasai lebih dari satu Keahlian yang telah diteKuni selama bertahun-tahun dan secara mendalam tapi ... dia sama seKali taK berminat untuK menuliskannya “secara popular”, mesKipun dia memiliKi Ketrampilan menulis. MenurutKoe, Kalau seseorang dianjurKan untuK menulis sesuai dengan KepaKarannya saja, secara taK langsung aKan membunuh Kreativitas seKaligus minat orang tsb di bidang lain. Kecuali apabila orang/penulis itu memang sudah memiliKi atau akan dipersiapkan untuk mengasuh Kolom tersendiri, jadi bahasannya spesifiK. Jangan sampai terjadi apabila sudah punya Kolom Khusus eh … isinya hal “remeh-temeh” dari A – Z.
IMHO, paKar atau tidaK, menjadi tidaK penting, apabila penulis, at least, tau apa yang dia tulis, buKan seKedar “Katanya” atau hanya berdasarKan statistiK SM (Sebelum Masehi). Tentunya Kita perlu melihat dulu … genre tulisannya apa? MenulisKan paparan berupa pengalaman Kopi Darat misalnya, apaKah perlu Keahlian Khusus dibidang KopDar? Bosen dunK Kalo ada penulis spesialisasi KopDarDerDor. Untuk menulis satu artikel “eseK-eseK” apaKah seseorang harus Kuliah di KedoKteran dulu? Ada Kan yang namanya studi literatur, yang penting dapat dipertanggung-jawabKan dengan mencantumKan sumber Kutipan dengan jelas, mesKipun ujung-ujungnya harus nge-linK Ke suatu situs mesKipun itu situs “porno”. Ada juga yang namanya "hands-on learning." Jelas ada perbedaan antara "Knowledge" yang diperoleh di bangKu seKolah dan "Experience" di lapangan. Keduanya tentu mengandung "Kebenaran". BTW, eseK-eseK atau tidaK, porno atau tidaK … it’s a question of labelling – Ini mah cuma masalah pe-label-an, gimana Kita membuat label pada suatu artikel. Yang penting jangan lihat siapa yang nulis (paKar atau buKan), tapi lihatlah apa isi tulisannya. SiapKah Kita?
Menyoal masalah travel writing, Clive J. Christie berpendapat bahwa pengetahuan, KepaKaran serta inteleKtual seseorang Kadang-Kadang nggaK matching dengan Kemampuan orang itu untuK menulis (mesKipun menurutKoe minat orang tsb tidaK perlu diraguKan.)
"Understanding foreign cultures and languages has become the province of the academic specialist; conversely, travel-writing itself has become a similarly compartmentalized skill. The almost inevitable result is that those who know a society in depth cannot write about it in a way that could possibly attract the general reader – and those who can write well will only know the society they are describing in the most superficial terms."
~ Clive J. Christie, 1994 ~
Menjawab pertanyaan “besar” di awal tulisan ini tentang “Apa dan seberapa penting peran KepaKaran seseorang dalam dunia tulis-menulis?” perlu dilihat juga medianya apa (online atau cetaK? Buku atau ‘paper’?) dan segmentasi pembacanya siapa. Kalau ada CJ dengan moto “apa saja siapa saja” misalnya, tentu harus punya PENDIRIAN untuK menampung apa pun itu dan siapa pun itu. Seandainya Kompasiana meneKanKan “KepaKaran” yang dilatar belaKangi dengan pendidiKan formal silahKan … Kalau format Kompasiana yang baru dirancang untuk lebih menariK publiK Ketimbang jurnalis serta “mengangKat” derajat publiK agar “setara” dengan “level” jurnalis, tentunya Karpet merah harus dipersiapKan juga untuK menyambut new comers yang non-jurnalis pro ataupun "awam", tidaK hanya digelar Khusus bagi “paKar” (perhatiKan greetings Kompasiana thd
Syamsir Abduh dan
Kafi Kurnia beberapa waKtu yang silam.)
Salam “Punya pendirian itu penting”.
*) sebagai anonym, Pepih Nugraha tidaK pernah (belum?) secara gamblang menjelasKan Ke-anonim-an bocahndeso ini Ke publiK. Sementara Kompasiana yang di-admin-in sendiri oleh Pepih Nugraha mensyaratKan bahwa Kompasianer (terutama Public) “tidak boleh anonym.” Kalau toh anonimitas ini hanya berlaKu untuK public dan tidaK (anonym) terhadap admin mungKin bisa dimaKlumi.