Monday 16 November 2009

≈ Kiprah Segelintir PaKar Yang “SuKses” di Luar KepaKarannya ≈

≈ KoKi Post – Old Gum Tree ≈

Menjadi paKar ataupun memiliKi Keahlian di bidang tertentu tidaK melulu dilalui atau diperoleh di bangKu seKolah (training), tetapi dapat juga diperoleh dari pengalaman (experience). Pertanyaannya adalah: ApaKah Kita dapat menerima “faKta” ini? AdaKah di antara Kita yang sangat mengagungKan “KepaKaran” yang “berazasKan” gelar aKademiK semata? AdaKah Kita sediKit meraguKan “KepaKaran” seseorang yang memiliKi Keahlian dan pengalaman yang dapat diKataKan autodidak? Sebelum “me-review” KepaKaran beberapa toKoh, mari Kita simaK dialog salah satu paKar dalam suatu wawancara:

“Untuk meningkatkan pendidikan tinggi, apa usul Anda?” tanya wartawan Kompas.
“Mutu doktor lulusan Indonesia kan jadi masalah. Di tingkat ini saya bersikap apa adanya. Kalau lulus, ya lulus. Kalau jelek, ya dibilang jelek. Tidak usah main-main, wong calon doktor, ya tetap tidak lulus.
Begitu juga sikap saya soal pemberian gelar profesor yang memberi kesan mudah diberikan. Itu dagelan. Jumlah profesor banyak sekali. Kita tiru saja seniman. Biarkan masyarakat yang menilai. Kontribusi kita ada tidak. Seperti seniman dikasih gelar maestro. Si seniman kan tidak pernah minta. Affandi maestro dalam seni lukis, itu kan penilaian masyarakat. Rudy Hartono maestro bulu tangkis, itu kan dari masyarakat.”

Liek Wilardjo: Sains dan Ilmu Bahasa
PercaKapan di atas pernah diterbitKan dalam bentuK artiKel dengan judul Sains, Humaniora, Nilai Keagamaan di Kompas Minggu tanggal 4 OKtober yang lalu. Subur Tjahjono dan ST Sularto menulisKan hasil wawancara mereKa dengan Prof Dr Liek Wilardjo (70 tahun). DoKtor fisiKa spesialisasi moleKul lulusan Michigan State University tahun 1970 ini memperoleh “doKtor Kedua” berupa penghargaan Dr HC (DoKtor Honoris Causa) di bidang Sains dari Vrije Universiteit Amsterdam pada tahun 1990.

**Trus apa hubungan Kutipan dengan judul artiKel di atas?**
Hehe … mesKipun ada unsur Kesengajaan untuK mengopas bagian yang ada (Kata) DAGELAN nya, aKoe TIDAK bermaKsud untuK mengupas atau memperdebatKan pernyataan bahwa “gelar profesor itu gampang diperoleh”. AKoe hanya seKedar memberi gambaran bagaimana “Pak Liek” yang paKar dibidang sains ternyata menggeluti humaniora dan menjadi “suKses” di bidang tsb.

Ketua Program Pascasarjana Studi Pembangunan yang juga Guru Besar UKSW, Salatiga ini memiliKi KetertariKan dan minat yang berKaitan dengan ilmu bahasa selain filsafat, teologi, lingKungan dan tentunya sains. Minatnya terhadap bahasa diteKuni dan membuahKan Kamus FisiKa dan Kamus Umum Istilah Ilmu Dasar dan beliau telah menjadi “paKar” di bidang ini (selain fisiKa tentunya).

Xavier Le Roy: Dari Biologi ke Tari
Siapa dia? Xavier Le Roy (46 tahun) adalah paKar biologi moleKul dan biologi sel lulusan University of Montpellier, Prancis. Pada tahun 1988 dia mulai menunjuKKan KetertariKannya pada seni tari. (UntuK lengKapnya, silahKan baca CV-nya di LINK ini. TidaK seperti Liek Wilardjo yang masih mempraKteKKan Keilmuannya di ruangan Kuliah, Le Roy memilih berhenti total sebagai ahli biologi dan foKus Ke seni tari/teater.

Apa Kata Le Roy tentang dirinya? “Sejak saya bekerja sebagai penari dan koreografer, saya sering disebut sebagai penari yang tidak biasa atau ahli biologi yang menari.” Le Roy sendiri pernah tampil di Goethe Haus, Menteng JaKarta pada tanggal 8 OKtober yang silam. (Kalau tertariK silahKan baca juga review dari pertunjuKKannya di Jakarta Post.)

Selain Liek Wilardjo dan Xavier Le Roy ada paKar yang menelurKan buKu yang isinya berbeda dari “training” mereKa di universitas. BuKu mereKa boleh diKataKan taK leKang ditelan zaman dan mendapat sambutan luar biasa. On Photography nya Susan Sontag dan How to Lie With Statistics nya Darrell Huff misalnya, ditulis oleh orang yang tidaK memiliKi training secara Khusus di bidang photography maupun statistics. Sontag yang seorang aKademisi itu mempunyai latar belaKang pendidiKan philosophy, sastra dan teologi. Sementara Huff yang merupaKan seorang penulis itu semasa hidupnya beKerja sebagai editor di majalah yang “berbau” rumah dan Kebun.

Kenapa “paKar yang non paKar” ini bisa mendapat tempat dan bahKan diaKui “KepaKarannya” oleh paKar yang memang mendalami training di bidang tertentu? ApaKah “toleransi” ini serta-merta diberiKan Karena mereKa pernah maKan seKolahan dan memiliKi gelar aKademiK?

Mang Udjo: TeKun Belajar Dengan Ahlinya
Udjo Ngalagena atau yang lebih diKenal dengan Mang Udjo “hanyalah” seorang guru seni. AKan tetapi, pendiri Saung AngKlung Udjo ini telah melanglang dunia untuK menunjuKKan Keahliannya. Pengalaman dan hobby yang telah membuatnya memperoleh penghargaan taK hanya di tingKat nasional tapi di tingKat internasional juga. Mang Udjo giat dan teKun menimba ilmu langsung dari paKar Kecapi yaKni Mang Koko; PaKar gamelan: Rd.Machyar Angga Kusumahdinata dan paKar angKlung: Daeng Soetigna.

Bagaimana dengan Mariska Lubis? Pepih Nugraha pernah mengumumKan secara publiK bahwa Kompasiana perlu Mariska-Mariska lain. Pepih Nugraha sendiri pernah “menjanjiKan” Kolom Khusus seKsologi yang diasuh oleh seorang paKar dan yang hanya bisa diaKses dengan pasword. Meskipun tidaK menyebutKan Kandidat nama pengasuh Kolom itu, sampai sejauh ini belum Kelihatan tanda-tanda adanya Kolom “eseK-eseK” tsb di Kompasiana. ApaKah ada “Keraguan” atas “KepaKaran” Mariska Lubis?

ArtiKel Mariska yang diterbitKan tanggal 14 November Kemarin awalnya diberi tag “hiburan” Kemudian diganti dengan tag filsafat. Di format Kompasiana yang baru, dalam profil Mariska terbaca bahwa mesKipun ia taK memiliKi training di bidang seKsologi, Kompasianer yang meneKuni International Studies dengan Konsentrasi PolitiK Asia Tenggara ini memiliKi minat, pengalaman dan masih aKtif bergelut dalam bidang “curhat” (baca: Konsultasi) eseK-eseK di sebuah majalah Kesehatan. Satu pertanyaan menariK mengenai artiKel perilaKu sex hewan itu datang dari Lex dePraxis: “Ada referensi terkait yang bisa dibaca mengenai kelakuan singa itu?” oleh penulisnya dijawab: “hehehehe… banyak kok!!! Cari aja di buku-buku…. “ Perlu dicatat bahwa Darwin adalah salah satu referensi yang diKutip Mariska di tulisan tsb. tiga lainnya hanya diidentifiKasiKan sebagai “peneliti” tanpa acuan apaKah Ketiganya adalah Darwin.
Hmmm ... "tugas Kita" yang non-paKar di bidang perilaKu sex ini adalah mencari jawabannya "di buKu-buKu".
** GaruK-garuK Kepala **

7 comments:

kutu kuya ! said...

...ngg, jadi gatel jadi mo ikutan ketawa *****k

Ketombe? said...

...ngg , Keramas yuK ... :)

u'u' a'a' said...

Haiyya , malem-malem kook ngajak keramas ! kikkikkik

Pilihan Berganda said...

Yg hrs dilakukan kalau gatal:
a. keramas
b. menggaruk

KoKiPost said...

Hehe ...
btw, jadi teringat mendiang Puri, Konon, berdasarKan disKusi di KoKo, si Puri yg fiKtif itu justru melaKuKan "riset Kecil2an" utK Keperluan postingannya. Sad o'o' sad.

Salam KuKuK

Anonymous said...

Ikut garuk-garuk juga deh..hahaha..kadang aye juga nggak ngerti ama pikiran yang katanya "orang pinter" atau "pakar" disini orang pinter akan kelihatan pinter kalau lagi ngobrol ma orang pinter juga...begitsu Mbah ( salam LRD)

KoKiPost said...

weleh weleh, pada garuK2an.
ya sutralah
salam baliK