Thursday 26 November 2009

≈ Please Help Yourself To Bananas ≈

≈ KoKi Post – Old Gum Tree ≈

SeKilas, setandan pisang hijau ini tampaK seperti buah pisang pada umumnya. Yang taK lazim adalah tulisan-tulisan di Kulit buah pisang itu. Apa ajah sih yang ditulis? Ada "Diana", "Zero", "Aldi" dan beberapa Kata lain. Sepertinya nama. AKan tetapi ada juga Kata "K*N**L, dimana Kedua hurup "O" tidaK begitu Kentara.

TaK jelas apaKah perbuatan itu "Kerjaan" si penjaga taman safari atau hanyalah Keisengan pengunjung, yang pasti ada "huruf Korea" nya. "PemiliKnya" bahKan menulisKan namanya dua Kali di satu pisang. Kalau penandaan pisang itu berarti KepemiliKan, harus nunggu berapa lama sampai pisangnya matang? ~KhiK~KhiiK~KhiiiK~

Pisang-pisang yang Kuning dan ranum ini taK bernama. Namun, taK berarti bahwa pisang itu taK bertuan. These bananas belong to Booboo :). FYI, Booboo is Mamang Q's ADOPTED child.

Please click "MORE" to feed Booboo.
ThanK you and ... enjoy!

Monday 23 November 2009

≈ BlogdetiK, Pesaing Kompasiana? ≈

≈ KoKi Post – Old Gum Tree ≈

Judul artiKelKoe ini “Koe-bolaK-baliK” dari tulisan Anjari Umarjianto di Detik yang bertajuK Kompasiana, Pesaing Blogdetik!. Blogger yang mulai aKtif di Detikblog sejaK April 2008 ini, mulai icip-icip Kompasiana dan sudah nge-Kost di KOMPAS seKitar 6 bulan yang lalu. Kesan dan pengalamannya nge-blog di Kompasiana diungKapKan Anjani dengan jujur, apa adanya.

Seperti tersurat di judul postingannya, Anjari yang merupaKan pengguna BlogdetiK dan Kompasiana itu meyaKini bahwa Kompasiana berpotensi menjadi saingan Blogdetik dan buKan sebaliKnya. Anjari melaKuKan “percobaan” dengan mengirim dua artiKel dengan judul sama yaitu: “miyabi bertamu di rumah saya”, Ke Blogdetik dan Kompasiana. TidaK dijelasKan apaKah isi dari tulisan itu juga sama. (AKoe berusaha untuK mengeceKnya, tapi linK yang di Kompasiana-nya “mati”.) Hasil penelitian Anjari menunjuKKan bahwa postingan “Miyabi” yang di Kompasiana, memperoleh dua Kali lipat pageviews dibandingKan dengan “Miyabi” di Blogdetik. Btw, alat uKur yang digunaKan taK sama, satu sitemeter dan satunya lagi hasil perhitungan Kompasiana.

Nama besar Kompas dan “traffic” Kompasiana serta data pageviews Kedua artiKel mengenai Miyabi ini membuat Anjari Kesimpulan bahwa Kompasiana lebih “heboh” dan berpeluang menjadi pesaing Blogdetik:
“melihat nama besar kompas dan “hidup”nya komunitas kompasiana, ini dapat menjadi pesaing berat bagi blogdetik. atau malah jangan-jangan mengancam blogdetik. bukan sesuatu yang mustahil, blogger yang selama ini nge-kost di blogdetik akan pindah kost di kompasiana.”

Karena aKoe hanyalah “pengintip” dan taK punya aKun di situs-situs tsb di atas, tentu saja aKoe menghargai pendapat Anjari tentang data, studi kasus-nya dan pengalamannya ngeblog di dua situs tsb.

Siapa Pesaing Siapa?
Alexa, menempatKan Blogdetik.com dalam peringKat 87 se Indonesia dan peringKat 5.340 dunia. Sementara Kompasiana.com, di Indonesia, masih di urutan 225 dan di dunia di urutan 18.563. (FYI, nomor 1 adalah situs yang paling TOP BGT.)

Bagaimana dengan peringKat “induK-induK” Kedua situs ini? Masih menurut Alexa, berdasarKan peringKat negara, dalam hal ini Indonesia, Detik.com ada di ranKing 9, sementara Kompas.com di urutan 11, dua peringKat di bawahnya. Di tingKat dunia, Detik.com ada di nomor 434, sedangKan Kompas.com di nomor urut 656.

Secara statistiK (dalam hal ini: Alexa), sudah terang-benderang bahwa baiK di Indonesia maupun di tingKat dunia, Blogdetik LEBIH TOP Ketimbang Kompasiana. Bagaimana dengan data Pageviews, Daily Pageviews per user dan Time on Site Kedua situs ini dalam rentang tiga bulan teraKhir? SilahKan lihat perbandingan grafiK Blogdetik dan Kompasiana di bawah ini.

Pageviews:
Blogdetik (biru) lebih tinggi dibanding Kompasiana (coKlat)

Daily Pageviews per User:
Kompasiana lebih unggul dibanding Blogdetik

Time on Site:
Kompasianer spend more time (on site) than Blogdetikers

Secara Pageviews, berdasarKan data pada tgl 21 November, persentasi (%) Blogdetik (biru) cenderung lebih tinggi daripada Kompasiana (coKlat). Data ini lebih penting, Karena Alexa menghitung jumlah total KliK. Total Pageviews inilah yang menentuKan peringKat suatu situs. AKan tetapi, jumlah KliK per hari per tiap pengguna diungguli oleh Kompasiana. Diantara Keduanya, pembaca Kompasianer ternyata lebih betah berlama-lama mantengin Kompasiana. "Unggulnya" Kompasianer untuK Daily Pageview per User dan Time on Site, bisa jadi dipengaruhi oleh beberapa faKtor, misalnya Kebiasaan menggunaKan shared-computer (di Kantor atau di warnet), bisa juga Karena panjangnya artiKel, lamanya mengaKses Karena KoneKsinya lelet atau sebab-sebab lain.

StatistiK yang tertangKap tangan ;) ini, merupaKan data dari pertengahan Agustus s/d Pertengahan November. ArtiKel Anjari ditayangKan tanggal 20 OKtober, dan tentu saja tingginya pageviews artiKel Miyabi-nya Anjari dipengaruhi banyaK faKtor, antara lain jumlah user yang online saat itu, tautan (linK) dari Kata “Miyabi” sendiri, dan tentunya format the new Kompasiana yang baru di-launching, dimana mungKin pada saat itu dipadati oleh pengintip-pengintip yang punya rasa ingin tau dan mau icip-icip. Sebelum memutusKan “pindah Kost”. SingKat Kata, pergeraKan aKan terus berfluKtuatif secara real time. Site owner sah sah saja mempubliKasiKan dan menonjolKan Keunggulan data statistiKnya, tanpa perlu ada pembanding yang "sepadan." Pertanyaannya: Apa sih ANGKA itu? Mana yang urgent diprioritasKan? MasuK sepuluh besar Indonesia (atau Dunia?) MemiliKi pageviews yang lebih tinggi dari situs Kompetitor? Atau ... mau diborong abis semuanya? ~KhiK~KhiiK~KhiiiK~

10 Besar vs 20 Besar?
MasuK sepuluh besar tentu buKan hal yang dapat dicapai dengan mudah dan instant. Apabila sudah masuK dalam ranKing top ten se Indonesia, pergeseran peringKat boleh diKata tidaK “se-fluKtuatif” let say … yang belum masuK 100 (seratus) besar. Menurut Alexa, Blogdetik sudah Online Since 29 Mei 1998 – cK cK cK … lebih dari sepuluh tahun bo, ya … nggaK heran dunK. Apalagi, untuK “uKuran Indonesia” pada tahun tsb, yang addicted ngeblog relatif masih sediKit; Klo mo ngenet ngga “semurah” seKarang dan warnet mungKin belum begitu menjamur; dan hmm … tentu “nama besar” dan “traffic” Detik punya pengaruh.

Haree genee, di Indonesia, sudah banyaK aKses internet yang serba mobile, misalnya mobile blogging, mobile broadband yang jauh lebih murah, mudah dan cepat dibanding 10 tahun yang lalu. Fasilitas ini juga mengubah "gaya hidup" jari-jemari netters, dimana Kalau ada yang lebih hijau ... ya plaraK-pliriK dan mungKin ... pindah Kost. Selain itu, momentum turut mempunyai andil. Lihat saja bagaimana peringKat Kompasiana naiK drastis dari penayangan beta; yang merayap menjelang ulang tahun pertama dengan new format; sampai bergeraK “tipis” di bilangan 18.000-an dunia dan masuK 300 besar se-Indonesia. (SilahKan baca artiKel terKait).

Bagaimana menyiKapi angKa dan rating? MasuK dalam ranKing 10 atau ranKing 20 memang Kelihatan beda. Tapi Kalau Kita membandingKan angKa 9 untuK peringKat DETIK dan 11 untuK KOMPAS ya … sepertinya beda tipis. Masalahnya adalah Kita TIDAK sedang membicaraKan induK, tapi ANAK KANDUNG.

Sebagai anaK Kandung Detik, Blogdetik diliriK mungKin Karena induKnya. Kompasiana diliriK Karena Kompas. KoKi Kompas Komunitas (RIP) dulu pun diliriK Karena Kompas. KoKiers Kompas Komuniti adalah juga penggemar berat Samuel Mulia dan juga pembaca setia yang selalu mengaKses artiKel yang ada di Urban Life Kompas dan Kolom (PaKar) SeKsologi. MereKa ini buKan KoKiers “sejati”, tetapi mungKin aslinya memang pembaca setia Kompas yang Kalau mau membaca artiKel/Kolom Kesayangan mereKa, harus masuK lewat pintu KoKi Kompas. Jadi ... Kalau mereKa "hilang" Kenapa repot-repot mencari? Mending menjaga dan memelihara yang masih "tersisa."

Sebagai mitra Kerja (buKan anaK Kandung), misi KoKi-Detik untuK mengembaliKan Pageviews seperti KetiKa menginduK di Kompas sah-sah saja. Cuma ... diperluKan momentum/timing dan strategi yang jitu apalagi Kalau masih niatan untuK menyalip lawan. Sungguh taK ada salahnya memiliKi motivasi untuK bersaing. Tapi ... apa sih manfaatnya mengejar rating? Apalah gunanya diduKung Tim IT terbaiK, didanai oleh BanK terbesar atau digandeng top-ten-site se Indonesia apabila tidaK diduKung dengan usaha-usaha untuK mengembaliKan citra, Kepercayaan dan Kredibilitas KoKi sebagai CJ siapah-sajah-apah-sajah? Eeeh ... malah melarang orang untuK mengintip. Blogdetik, Pesaing Kompasiana? For the time being, YES!
KoKi-Detik, Pesaing Kompasiana? Only time will tell ...
Salam dan … good lucK!

Sunday 22 November 2009

≈ Menjelang Ijab Kabul, Mute Swan Dipingit! ≈

≈ KoKi Post – Old Gum Tree ≈

Selama masa pingitan,
Mute Swan taK banyaK bicara.
Pun pagi tadi
Dia membisu,
membenamKan paruhnya
di antara Kedua sayapnya.

Di Kolam Koran Kitorang
yang berwarna KecoKlatan
Terpantul sinar mentari
berwarna ke-merah-marun-an.
Warna yang menjanjiKan
dan mencerahKan,
Mas Kawin-Kontrak sudah dihantarKan
dan ditanda-tangani,
mesKipun alot,
mesKipun mungKin …
harus banyaK mengalah.

SeKarang tinggal menunggu resepsi …
IniKah saatnya Angsa tangguh returns?
"SiK asiK Buaya CiZe … sebentar lagi
mecungul di dunia maia …",
kata si Beiby.

Kurang lebih sebulan yang lalu …
Sebelum dipingit pun
Mute Swan remains mute;
Diam itu emas

Tapi toh sulit untuK
membiarKan gossip yang beredar
Kolam Koran Kitorang bergejolaK
Lihatlah buih-buih di Kolam itu
Sambil meleKuKKan leher jenjangnya
dan membentuK huruf “S”,
Mute Swan bertitah:
“S ... S ... Stop Kriminalisasi KPK!” *)
sabdanya dengan sediKit emosional.

“Kalian tau, aKoe dan ANAKKOE**)
sudah pamit dengan ‘hormat’!
Kalau Kalian Bonar-Bonar mau berbuat onar,
‘ganggulah’ Komunitas ‘buaya’!”
Hmm … apaKah ini suatu pengaKuan
bahwa Komunitasnya adalah “cicak”?
ApaKah ini suatu himbauan
untuk “membenarKan”
perbuatan onar?
Entahlah ...

Aniwei, selamat untuK Mute Swan nan tangguh! Semoga Kerja samanya menguntungKan Kedua belah piHak secara “berimbang”. Ayo Kita sambut peluncuran CiZe. Selamat berKiprah di dunia BISNIS ;) dan semoga Pageviews-nya bisa … at least “baliK modal”.

*) KPK= Komunitas Pengintip KoKiposters
**) Sebelumnya Beybi-nya sudah diaKui mati

Thursday 19 November 2009

≈ Ber-narsis-Ria di Twitter, HaramKah? ≈

≈ KoKi Post – Old Gum Tree ≈

Ada beberapa blog yang menjadi langganan MbahKoe dan dipajang di The Late Kookkaburra. Menurut Mbah MD, dia taK selalu punya waKtu untuK membaca setiap postingan dari blog-blog tsb. Apalagi aKoe yang tidaK berlangganan secara langsung. Salah satu dari blog tsb adalah The Travel Photographer, miliK TEWFIC EL-SAWY.

WeeKend Kemarin, waKtu aKoe melaKuKan inspeKsi Ke KoKiPost Founder, aKoe tertariK untuK membaca postingan TEWFIC EL-SAWY yang berjudul POV: Twitter This Twitter That. Postingan yang berasa “gue banget” itu membuatKoe tersenyum di Kulum.

Tulisan singKat itu ternyata dilhami artiKel The Value of Twitter Data di The New York Times edisi 12 November 2009 Dimana ternyata ada pihaK Ketiga yang menjadiKan aKtivitas “twit-twit-an” ini untuK Data Mining. aKoe taK bermaKsud untuK menaKut-naKuti pengguna twitter, akoe hanya seKedar sharing artiKel.

aKoe sendiri sempat berpiKiran bahwa Twitter “lebih aman” di banding FacebooK. ArtiKel berjudul Why are there no spam or trolls on Twitter? yang terbit tanggal 6 Maret tahun lalu (2008) cuKup meyaKinKanKoe. AKan tetapi artiKel dari NY Times (The Value of Twitter Data) tsb di atas dan dari Guardian dengan judul Internet Provider Is Latest Twitter Hack Victim sediKit memupusKan KepercayaanKoe terhadap twitter.

**Trus … bagian mana dari postingan itu yang “elu banget” dan membuatmu tersenyum-senyum?** Ada tiga poin yang dicurhatKan di blog tsb, tapi hanya satu poin yang aKan aKoe highlight di sini adalah, Kebingungan penulis/blogger tsb KetiKa mengetahui bahwa ada orang yang tertariK untuK men-"tweet" hal “remeh temeh” yang dibahasaKan olehnya dengan “trivialities”.
"I only "tweet" my blog posts, and on occasions some stuff that I find interesting in the realm of photography and photojournalism. I do not "tweet" about trivialities that occur in my daily life, since I suspect that no one is (nor should they be, frankly) interested in those. Others do "tweet" about such stuff, and I don't understand why they think that anyone is remotely interested if they suddenly sprout a pimple, or whether Grandma Ida's apple pie tasted like cardboard last night. Isn't that what is diagnosed as narcissism ??"

**Hehe ... narcissism or not ... don't be surprised ... suKa atau tidaK suKa, konsumen (plus pengintip) nya bejibun, bok**

Monday 16 November 2009

≈ Kiprah Segelintir PaKar Yang “SuKses” di Luar KepaKarannya ≈

≈ KoKi Post – Old Gum Tree ≈

Menjadi paKar ataupun memiliKi Keahlian di bidang tertentu tidaK melulu dilalui atau diperoleh di bangKu seKolah (training), tetapi dapat juga diperoleh dari pengalaman (experience). Pertanyaannya adalah: ApaKah Kita dapat menerima “faKta” ini? AdaKah di antara Kita yang sangat mengagungKan “KepaKaran” yang “berazasKan” gelar aKademiK semata? AdaKah Kita sediKit meraguKan “KepaKaran” seseorang yang memiliKi Keahlian dan pengalaman yang dapat diKataKan autodidak? Sebelum “me-review” KepaKaran beberapa toKoh, mari Kita simaK dialog salah satu paKar dalam suatu wawancara:

“Untuk meningkatkan pendidikan tinggi, apa usul Anda?” tanya wartawan Kompas.
“Mutu doktor lulusan Indonesia kan jadi masalah. Di tingkat ini saya bersikap apa adanya. Kalau lulus, ya lulus. Kalau jelek, ya dibilang jelek. Tidak usah main-main, wong calon doktor, ya tetap tidak lulus.
Begitu juga sikap saya soal pemberian gelar profesor yang memberi kesan mudah diberikan. Itu dagelan. Jumlah profesor banyak sekali. Kita tiru saja seniman. Biarkan masyarakat yang menilai. Kontribusi kita ada tidak. Seperti seniman dikasih gelar maestro. Si seniman kan tidak pernah minta. Affandi maestro dalam seni lukis, itu kan penilaian masyarakat. Rudy Hartono maestro bulu tangkis, itu kan dari masyarakat.”

Liek Wilardjo: Sains dan Ilmu Bahasa
PercaKapan di atas pernah diterbitKan dalam bentuK artiKel dengan judul Sains, Humaniora, Nilai Keagamaan di Kompas Minggu tanggal 4 OKtober yang lalu. Subur Tjahjono dan ST Sularto menulisKan hasil wawancara mereKa dengan Prof Dr Liek Wilardjo (70 tahun). DoKtor fisiKa spesialisasi moleKul lulusan Michigan State University tahun 1970 ini memperoleh “doKtor Kedua” berupa penghargaan Dr HC (DoKtor Honoris Causa) di bidang Sains dari Vrije Universiteit Amsterdam pada tahun 1990.

**Trus apa hubungan Kutipan dengan judul artiKel di atas?**
Hehe … mesKipun ada unsur Kesengajaan untuK mengopas bagian yang ada (Kata) DAGELAN nya, aKoe TIDAK bermaKsud untuK mengupas atau memperdebatKan pernyataan bahwa “gelar profesor itu gampang diperoleh”. AKoe hanya seKedar memberi gambaran bagaimana “Pak Liek” yang paKar dibidang sains ternyata menggeluti humaniora dan menjadi “suKses” di bidang tsb.

Ketua Program Pascasarjana Studi Pembangunan yang juga Guru Besar UKSW, Salatiga ini memiliKi KetertariKan dan minat yang berKaitan dengan ilmu bahasa selain filsafat, teologi, lingKungan dan tentunya sains. Minatnya terhadap bahasa diteKuni dan membuahKan Kamus FisiKa dan Kamus Umum Istilah Ilmu Dasar dan beliau telah menjadi “paKar” di bidang ini (selain fisiKa tentunya).

Xavier Le Roy: Dari Biologi ke Tari
Siapa dia? Xavier Le Roy (46 tahun) adalah paKar biologi moleKul dan biologi sel lulusan University of Montpellier, Prancis. Pada tahun 1988 dia mulai menunjuKKan KetertariKannya pada seni tari. (UntuK lengKapnya, silahKan baca CV-nya di LINK ini. TidaK seperti Liek Wilardjo yang masih mempraKteKKan Keilmuannya di ruangan Kuliah, Le Roy memilih berhenti total sebagai ahli biologi dan foKus Ke seni tari/teater.

Apa Kata Le Roy tentang dirinya? “Sejak saya bekerja sebagai penari dan koreografer, saya sering disebut sebagai penari yang tidak biasa atau ahli biologi yang menari.” Le Roy sendiri pernah tampil di Goethe Haus, Menteng JaKarta pada tanggal 8 OKtober yang silam. (Kalau tertariK silahKan baca juga review dari pertunjuKKannya di Jakarta Post.)

Selain Liek Wilardjo dan Xavier Le Roy ada paKar yang menelurKan buKu yang isinya berbeda dari “training” mereKa di universitas. BuKu mereKa boleh diKataKan taK leKang ditelan zaman dan mendapat sambutan luar biasa. On Photography nya Susan Sontag dan How to Lie With Statistics nya Darrell Huff misalnya, ditulis oleh orang yang tidaK memiliKi training secara Khusus di bidang photography maupun statistics. Sontag yang seorang aKademisi itu mempunyai latar belaKang pendidiKan philosophy, sastra dan teologi. Sementara Huff yang merupaKan seorang penulis itu semasa hidupnya beKerja sebagai editor di majalah yang “berbau” rumah dan Kebun.

Kenapa “paKar yang non paKar” ini bisa mendapat tempat dan bahKan diaKui “KepaKarannya” oleh paKar yang memang mendalami training di bidang tertentu? ApaKah “toleransi” ini serta-merta diberiKan Karena mereKa pernah maKan seKolahan dan memiliKi gelar aKademiK?

Mang Udjo: TeKun Belajar Dengan Ahlinya
Udjo Ngalagena atau yang lebih diKenal dengan Mang Udjo “hanyalah” seorang guru seni. AKan tetapi, pendiri Saung AngKlung Udjo ini telah melanglang dunia untuK menunjuKKan Keahliannya. Pengalaman dan hobby yang telah membuatnya memperoleh penghargaan taK hanya di tingKat nasional tapi di tingKat internasional juga. Mang Udjo giat dan teKun menimba ilmu langsung dari paKar Kecapi yaKni Mang Koko; PaKar gamelan: Rd.Machyar Angga Kusumahdinata dan paKar angKlung: Daeng Soetigna.

Bagaimana dengan Mariska Lubis? Pepih Nugraha pernah mengumumKan secara publiK bahwa Kompasiana perlu Mariska-Mariska lain. Pepih Nugraha sendiri pernah “menjanjiKan” Kolom Khusus seKsologi yang diasuh oleh seorang paKar dan yang hanya bisa diaKses dengan pasword. Meskipun tidaK menyebutKan Kandidat nama pengasuh Kolom itu, sampai sejauh ini belum Kelihatan tanda-tanda adanya Kolom “eseK-eseK” tsb di Kompasiana. ApaKah ada “Keraguan” atas “KepaKaran” Mariska Lubis?

ArtiKel Mariska yang diterbitKan tanggal 14 November Kemarin awalnya diberi tag “hiburan” Kemudian diganti dengan tag filsafat. Di format Kompasiana yang baru, dalam profil Mariska terbaca bahwa mesKipun ia taK memiliKi training di bidang seKsologi, Kompasianer yang meneKuni International Studies dengan Konsentrasi PolitiK Asia Tenggara ini memiliKi minat, pengalaman dan masih aKtif bergelut dalam bidang “curhat” (baca: Konsultasi) eseK-eseK di sebuah majalah Kesehatan. Satu pertanyaan menariK mengenai artiKel perilaKu sex hewan itu datang dari Lex dePraxis: “Ada referensi terkait yang bisa dibaca mengenai kelakuan singa itu?” oleh penulisnya dijawab: “hehehehe… banyak kok!!! Cari aja di buku-buku…. “ Perlu dicatat bahwa Darwin adalah salah satu referensi yang diKutip Mariska di tulisan tsb. tiga lainnya hanya diidentifiKasiKan sebagai “peneliti” tanpa acuan apaKah Ketiganya adalah Darwin.
Hmmm ... "tugas Kita" yang non-paKar di bidang perilaKu sex ini adalah mencari jawabannya "di buKu-buKu".
** GaruK-garuK Kepala **

Thursday 12 November 2009

≈ Expert. PaKar. ≈

≈ KoKi Post – Old Gum Tree ≈

According to Webster Dictionary, an EXPERT is: "having, involving, or displaying special skill or knowledge derived from training or experience."

Tuesday 10 November 2009

≈ RIP Puriwati Purasari Andono (DuKungan Terhadap Petrus Rampisela) ≈

≈ KoKi Post – Old Gum Tree ≈

aKoe taK Kenal Puri, (aKoe pun taK Kenal Oca),
aKoe, sampai penayangan tulisan ini, belum membaca tulisannya langsung.
aKoe taK merasa perlu untuK ceK dan riceK “pengalaman” hidupnya sebagai penderita KanKer payudara.
yang aKoe tau aKun Puri sudah “dipateni” Kompasiana dengan tidaK hormat.

Berita mengenai PuRIP-nya seorang Kompasianer diterima Pepih Nugraha dari Dr.dr. Anugra Martyanto, SpB.Onk, FICS, Ph.D, M.Kes. M.Si. Sebuah pesan singKat masuK Ke HP sang doKter yang juga Kompasianer. (TidaK ada informasi siapa yang ngirim SMS dan tidaK ada pembicaraan via telepon Ke si Pengirim pesan tsb untuK “seKedar” menanyaKan Kebenaran berita “duKa” ini.) It’s too late. Puri sudah digemboK oleh admin dan itu memang Kewenangannya.

Begitu banyaK “dediKasi” yang telah direncanaKan untuk mendiang Puri. Salah satunya adalah mendiriKan “Yayasan Puri.” So what? Masalahnya adalah seorang Kompasianer telah memverifiKasi bahwa Puriwati adalah "fiKtif" dan Puri disinyalir pura-pura "mati". Kecolongan? Begitulah Kalau Kompasiana “terlalu” percaya dan meng-agung-agungKan “real” people (buKan anonym). Apa dasarnya? SimaK petiKan tulisan Pepih Nugraha di bawah ini:

“Ketika saya menerima informasi “kematian” Puri dari dr Anugra Martyanto, saya langsung membuat postingan di atas kuburan almarhumah Ibu (kebetulan waktu itu sedang nyekar). Saya langsung tergugah dan jatuh simpatik tanpa cek dan ricek terlebih dahulu (masak untuk simpatik harus cek dan ricek sih?), saya langsung membuat postingan untuk mengajak Kompasianer membuat tulisan tentang Puri dengan harapan semua tulisan itu dikompilasi menjadi sebuah buku. Saya bahkan berjanji bersedia menjadi editor buku itu. Dr Anugra malah bersedia membiayai sebagian ongkos produksi penerbitan buku itu!”

“Akan tetapi, postingan Budiman Hakim berjudul Tokoh Fiktif di Kompasiana, mengisyaratkan bahwa apa yang dilakukan Puri adalah hoax, penipuan, dan pembohongan publik secara vulgar demi sebuah lomba atau sayembara iklan. Kita tahu, Budiman Hakim adalah praktisi periklanan yang namanya menembus batas dunia iklan itu sendiri, sehingga apa yang dipostingkannya, khususnya mengenai indikasi Puri menipu publik, sangat layak dipercaya.”

Tanpa bermaKsud mengurangi atau menyangsiKan “KepaKaran” Anugra Martyanto dan Budiman Hakim dalam bidangnya masing-masing, aKoe melihat bahwa nama Kedua Kompasianer tsb, bagi seorang Pepih Nugraha, merupaKan jaminan untuK mempercayai “KeaKuratan” berita game over-nya Puri. Bagaimana apabila aKun registered member telah di-hacK dan pembobol nya menyalah-gunaKan aKun tsb dengan memposting tulisan “fiKtif”?

Seperti Kasus Oca-KoKi Kompas Komuniti, "berita duKa" dan tindaKan “pemasungan” aKun Puri menuai Pro dan Kon. Salah satu duKungan datang dari Petrus Rampisela. Dari seKian banyaK Komentar untuK postingan Petrus Rampisela, aKoe Kutip di sini. “Pembelaan” Petrus Rampisela pada tanggal 10 November 2009 puKul 04:38 berbunyi:

“Iya Mbak saya paham, tapi saya tetap ingin bersama Penulis nya, saya cuma ingin berkata bahwa dia tidak sendiri. Itu saja, dan maafkan saya.”

Tanpa banyaK Komentar, aKoe hanya ingin menyampaiKan bahwa Petrus Rampisela “tidaK sendiri”.

Catatan Uploader: Foto di atas ini pernah diterbitKan di The Late KooKKaburra. Ucapan duKa yang spontan diKirim begitu mendengar berita "Kematian" Oca, salah satu TTM (Teman Teman Maia) KooKKaburra.

**Kalau saja si Abu sedang tidaK dirantai oleh majiKannya,tentu dia dapat melaKuKan investigasi, mem-verifiKasi dan menemuKan faKta mengenai Keberadaan (oops “Kematian”) Puri, sebagaimana Abu telah suKses menangani Kasus Oca.**

Thursday 5 November 2009

≈ KPK Di Dadaku ≈

≈ KoKi Post – Old Gum Tree ≈

Salah satu anggota KPK (Komunitas Pengintip KokiPost ;) mengusulKan agar lagu ini di-upload di KP.


Music: Netral
Vocalists: Fariz Rm, Once, Kadri-Jimmo (KJP) dan Cholil (ER).
Sumber: cahpamulang.

Familiar dengan lagu ini? TaK salah lagi, notasi lagu ini berasal dari lagu daerah Irian Jaya yang berjudul Apuse. Teks lagu "KPK" ini merupaKan bagian dari lagu Garuda Di Dadaku, hanya saja, ada beberapa Kata yang diganti, antara lain Kata "Garuda" dengan "KPK". Judul lagu KPK ini "dimiripKan" dengan judul OST dari film Garuda Di Dadaku (released: 18 Juni 2009) yang diaransemen oleh band Netral juga.

Sunday 1 November 2009

≈ Logo: Sebuah Identitas! ≈

≈ KoKi Post – Old Gum Tree ≈

Catatan Uploader:

Posting-an yang ditulis oleh Mbah MD - Old Gum Tree beriKut ini pernah di terbitKan di The Late KooKKaburra tanggal 1 Juni 2009, tepat LIMA bulan yang lalu. Dalam edisi KoKi Post hari ini, Kami menambahKan foto sebagai ilustrasi. Quotation di foto "Sun SAD" ini pertama Kali Kami Ketahui dari "new moon on monday" yang menulis di KoKo artiKel tsb di atas.

≈ Situasi Langit Koran Kitorang Saat Ini ≈

Your Highness Zeverina, selamat dan sukses atas peluncuran website independen nya. Salut juga untuk “konsistensinya” menggunakan logo KoKi dengan “Bola Pelangi” tanpa “Kepala PrabuKoKi” yang memakai topi juru masak. Mungkin tak ada yang tau dengan persis kenapa Kepala Prabu/chef itu “dipenggal”? (Padahal seperti yang tertulis di Bikin Logo KoKi, Prabu mengharuskan ada gambar juru masaknya: “Dan ini yang penting: harus ada gambar “chef’ nya“.) Mbah sendiri nggak punya jawabannya, cuma mau menganalisanya sedikit.

Kurang lebih setahun yang lalu, pada saat pembuatan Logo KoKi-Kompas Komuniti, Zeverina mengatakan bahwa pihak manajemen Kompas tidak setuju dengan logo karya PrabuKoKi. Sebagai gantinya, Kompas akan membuatkan logonya. Meskipun Logo buatan PrabuKoKi akhirnya disetujui, ada persyaratan yang diajukan oleh Kompas. Artinya keberadaan Logo itu sudah “DICAMPUR-TANGANI” oleh Kompas dan sudah sewajarnya lah JIKA logo tersebut dapat “membangkitkan luka lama”. Luka bahwa KoKi “dipaksakan” sebagai kepanjangan dari Kompas Komuniti. KoKi dengan logo yang bagi sementara orang “memberikan imaginasi buruk”? Imajinasi tentang ditutupnya KoKi secara "sepihak"? Imaginasi mengenai Kompas paska pemberangusan? Kalau sudah begitu kenapa bersikeras menggunakan logo lama yang merupakan identitas KoKi-Kompas Komuniti tersebut? Kenapa semua seperti mengalami amnesia? Helooooo …. KoKi sudah ditutup dengan resmi pada tanggal 1 Mei 2009. Dan Penggagas KoKi sudah mengundurkan diri dengan resmi dari Kompas dimana KoKi sudah dibekukan.

Dalam proses negosiasi logo Bola Pelangi, penggagas KoKi bersikeras menggunakan kata KoKi sebagai Kolom Kita. Sementara itu pihak Kompas menawarkan kepanjangan baru: Kompas Kita, yang akhirnya DISEPAKATI bahwa KoKi adalah singkatan dari Kompas Komuniti. Kompas tentu saja punya pertimbangan tersendiri untuk menyebut KoKi dengan label Community, sementara Pengelola KoKi-Kompas.com “menuntut” keikut-sertaan SiJei dalam logo tersebut. Artinya … terjemahkan sendiri, keh keh keh. Berikut ini kutipan “proses negosiasi” Community vs Citizen Journalism.

"Jum'at 4 April, ketika menerima kiriman email "Logo KoKi" versi hitam & merah, dari kantor, warna biru yang tadinya hanya kadang-kadang terbersit, akhirnya malah menguasai pikiran. Dalam revisi yang diajukan kemudian, selain mempersoalkan warna yang tidak sesuai, moderator meminta identitas "Citizen Journalism" diikutsertakan dibawah Logo KoKi, serta nama "Kompas Kita" dikaji ulang. Dua hari pertama belum ada tanggapan, dan yang pasti nama "Kompas Kita" sudah diputuskan dalam Rapat Pimpinan, kalau mau diubah lagi satu-satunya jalan harus melalui Pemimpin Redaksi. Dalam percakapan sambil lalu dengan boss nomor 1 itu, pertanyaan dijawab begini, "Lho katanya kamu ingin tetap mempertahankan nama KoKi, yang paling pas ya singkatan dari "Kompas Kita". Sayangnya, momennya tidak pas untuk berdiskusi lebih jauh" (Dikutip dari All I Need is Blue – Zeverina).

Dari pemaparan yang berbelit-belit ini, kira-kira bisa nggak kita katakan bahwa KoKi bagi Kompas adalah suatu Community, sementara bagi penggagasnya KoKi adalah Citizen Journalism. To make a long story short, oleh segelintir orang, KoKi IDENTIK dengan COMMUNITY dan bagi mayoritas KoKiers, KoKi IDENTIK dengan CITIZEN JOURNALISM. Sebenarnya, seberapa penting peranan IDENTITY bagi seseorang? Bagi komunitas? Bagi suatu partai politik? Bagi website CJ? Bisakah kita menyederhanakan konsep ini dengan mengatakan “Identity is in the eye of the beholder?”

Identitas pada hakikatnya menanyakan “WHO” (untuk orang) atau “WHAT” (untuk benda). Menurut Open University, The subject, ‘I’ or ‘we’ in the identity equation, involves some element of choice, however limited. Maksudnya si “I” atau si “WE” inilah yang menentukan identitas-nya/mereka yang tentu saja melibatkan pilihan. Pilihan-pilihan ini tentu saja berhubungan dengan bagaimana “I/WE” menilai dan mengidentifikasikan dirinya dan bagaimana orang lain menilai atau mengidentifikasikan “I/WE.” Seperti yang dijabarkan dalam situs Openlearn tsb:

"The link between myself and others is not only indicated by the connection between how I see myself and how other people see me, but also by the connection between what I want to be and the influences, pressures and opportunities which are available. Material, social and physical constraints prevent us from successfully presenting ourselves in some identity positions – constraints which include the perceptions of others."

Dengan mengintip website NewKoKi, yang tidak (belum?) kelihatan visi dan misinya, tidak jelas kiblatnya – Community atau CJ atau kombinasi keduanya – dan dengan mengingat betapa “ribetnya” pemberian nama dan identitas, masa depan seperti apa yang akan diharapkan dari “Komunitas” ini?

“Komunitas” Tanpa Identitas (Yang Jelas)? Keh keh keh …

Dalam petisi yang diajukan KoKiers kepada Edi Taslim, yang mewakili pihak manajemen Kompas, artikel yang diposting oleh “koki” mengumumkan keberatan mereka tentang IDENTITAS komunitas mereka:
“Kami mewakili KoKiers dari 166 negara ingin menyampaikan beberapa hal berkenaan diberangusnya RUMAH KAMI bersama yang bernama Kolom Kita (bukan Kompas Komunitas yang dipaksakan!)”
Identitas apakah sebenarnya yang Mbah maksud?

Ada beberapa hal yang ingin Mbah garis-bawahi disini: Seingat Mbah, sejak KoKi memasuki “MANSION” dengan logo “Bola Pelangi”, KoKi yang DULUNYA singkatan dari KoKi-Kolom Kita, SUDAH BERGANTI identitas menjadi KoKi, Kompas Komuniti, yang sebenarnya nggak gitu “dipaksakan” amat. Penggunaan identitas ini, singkatan nama KoKi berikut logo Bola Pelangi sudah menjadi IDENTITAS BARU dan sudah berlaku dan dipakai dengan senang hati oleh Komunitas/CJ KoKi, tanpa protes atau keberatan. Pertanyaannya: Kenapa baru setelah KoKi resmi ditutup pada tanggal 1 Mei Komunitas/CJ KoKi melayangkan keberatannya melalui Petisi yang ditulis pada tanggal 2 Mei? Bukankah tindakan ini mirip dengan tindakan seseorang yang mengubah akte lahir setelah orang yang bersangkutan meninggal dunia? Keh keh keh …

Kalaulah pada saat itu tak ada yang menyatakan protes dan tak dapat berbuat banyak karena KoKi harus tunduk pada Kompas.com, kenapa IDENTITAS KoKi yang berbeda-beda masih juga diwujudkan dalam bentuk pernak-pernak KoKi? Silahkan lihat koleksi foto yang ada di Multiply PrabuKoKi.

Sekurang-kurangnya ada dua kendaraan roda empat yang menggunakan dua identitas KoKi yang berbeda. Ada satu mobil dengan nomor plat Z3VI yang memakai identitas KoKi dengan huruf “KKI” berwarna biru. Sementara pada kendaraan dengan N 30 NK, aksara “KKI” muncul dengan warna putih disertai tulisan biru “Kompas Komuniti”. Siapakah orang-orang yang telah mencetak, mengedarkan, menempel dan menggunakan Identitas KoKi tersebut? Silent Readers? Non KoKiers? Dapatkah mereka kita katakan sebagai KoKiers yang DIPAKSA(KAN) memakai label “Kompas Komuniti”? Keh keh keh … jawaban ditulis di selembar kertas dan dikumpulkan pan kapan ajah … (Waktu mencetak stiker tersebut KoKiers tidak dalam keadaan terpaksa kan? Keh keh keh …)

Mbah nggak bisa memastikan apakah pemilik mobil bernomor Z3VI adalah mantan Pengelola KoKi-Kompas, dimana Logo KoKi yang ditempel pada mobilnya TIDAK mengandung kata-kata “Kompas Komuniti”. Mbah juga nggak bisa mastiin apakah alasan missing-nya kata Kompas Komuniti di mobil tsb dikarenakan pemilik mobil Z3VI itu tidak setuju dengan penggunaan kata yang mengandung Kompas itu. Pernyataan Moderator KoKi-Kompas dalam kutipan di bawah ini menegaskan bahwa Zeverina – Moderator, penulis artikel All I need is Blue, secara implisit menyatakan bahwa Zeverina SETUJU - "masih layak disingkat KoKi" (meskipun secara eksplisit diakuinya “maksa banget”.)

“Bagaimana KoKiers? Oke ya? Logo di atas rasanya bisa`mengakomodir semua kepentingan ya, baik dari Kompas.com, KoKiers maupun moderator. Pertama, nama KOMPAS masih diikutsertakan. Kedua, kata "KOMUNITAS" tidak menyalahi kaidah berbahasa, toh masih mengandung huruf K dan I, yang kalau digabung dengan huruf depan KO, masih layak disingkat KoKi (hehe, yang ini maksa banget), dan yang terpenting bernuansa biru, putih, merah, yang terpenting lagi, tulisan "Citizen Journalism" terpampang jelas.” (All I Need Is Blue - Zeverina)

Jadi … bagaimana KoKiers? Karena Zeverina sudah menyetujui penggunaan kata “Komunitas” (Btw, kenapa akhirnya jadi Komuniti ya …?) Kenapa tidak mengajukan petisi kepada Zeverina, selain ke Kompas? Keh keh keh …

Dalam tulisannya Bikin Logo KoKi, Prabu – Jakarta menulis: "Setelah muncul edisi sosialisasi Koki baru itu, siangnya koetilpun Zev, untuk menanyakan, “kenapa tulisan ‘Kompas Komuniti’ masih harus tercetak lagi di page Koki, dan harus menyatu dengan logo Koki?”"Bagaimana jawaban Zeverina mengenai pertanyaan Prabu? Masih menurut Prabu: “Penjelasan Zeverina sih intinya memahami argumenkoe. Cuma katanya, KCM mungkin punya pertimbangan lain.” Kira-kira kalau kita lihat kilas balik peristiwa itu apa ya … alasan KCM (KOMPAS) sebenarnya? Ya … yang namanya juga milik, yang secara masih dibawah payung KOMPAS ya … kudu ditandai donk dengan kata KOMPAS, jadi kalau sewaktu-waktu ada yang mau bawa KoKi-Kompas Komunitas “keluar” dari Kompas, brand-nya mau nggak mau (harus) keikut juga, keh keh keh ...

All I Need Is Blue? All “WE” Need Is A New LOGO!

Mengawali tulisannya All I Need Is Blue, Zeverina – Moderator mengutip David E Carter: "Begitu logo disukai, orang akan melirik. Logo yang memberikan imaginasi buruk, tak seorang pun menghiraukan, meskipun produknya sangat bermutu ...."

Mengingat standard Zeverina yang tinggi, ingin seperti OhmyNews, mengambil model kerjasama CNN dan Time (TAPI BATAL), dan mengingat website-nya yang “mewah” apakah tidak terpikirkan oleh Zeverina untuk membuat logo baru yang memberikan imaginasi yang BAGUS? Meskipun kata-kata Kompas Komuniti bisa dan HARUS dihilangkan karena permintaan dari Kompas, IMAGE dan IDENTITAS KoKi sebagai KOMPAS KOMUNITI tak bisa terhapus begitu saja. Karena ketika negosiasi logo membuahkan kesepakatan bahwa LOGO tersebut harus mengandung kata Citizen Journalism dan kata Kompas Komuniti, ketika itu juga IDENTITAS KOKI sudah dibentuk. Identitas KoKi yang “nempel” di Kompas, lepas dari apakah Kompas itu “baik” atau “buruk.”

Kalaulah paska pemberangusan KoKi, Kompas memiliki image “buruk” dimata KoKiers, bukankah logo KoKi yang identik dengan Kompas Komuniti akan terkena imbas “buruk-nya”? Seandainya ada yang “ngotot” menggunakan logo tersebut … Mbah jadi nggak ngerti apa alasannya. Terlalu gegabah APABILA Mbah katakan bahwa penggunaan logo itu cuma sekedar mendompleng “ketenaran” KoKi-Kompas Komuniti yang ada di Kompas. KoKi yang sudah dibekukan dan sudah “disepakati” merupakan kepanjangan dari Kompas Komuniti.

Meskipun bukan analogi yang tepat, PDI-P ajah yang tetap menggunakan tanggal 10 Januari 1973 sebagai tanggal pendiriannya, menggunakan logo baru si Moncong Putih. Seandainya ini seandainya loh partai PDI-P bubar atau pecah dan partai baru nya ngotot menggunakan logo banteng tapi mengganti “moncong”nya dengan warna lain … apa ya kesannya? Mbok ya … bikin logo baru, identitas baru. MAKE A FRESH START! Intinya meskipun di bagian bawah website tercantum ? 2008 - 2009 KoKi. All rights reserved, sejauh KoKi belum menjadi Trade Mark, KoKi bisa digunakan oleh SIAPA SAJA.

Akhir kata, Mbah mau mengucapkan SELAMAT BERPETUALANG. Sebagai penutup, izinkan Mbah mengutip komentar “YC” yang ada di artikel Congratulations.
YC: " Selamat buat Mamak Zev, juga buat KoKinya yg baru pindahan ke rumah baru....semoga di rumah baru KoKi makin menunjukkan identitas KoKi yg sebenarnya."
Mengamini ucapan YC, Mbah mau menekankan: Tunjukkan Identitas KoKi yang sebenarnya ...