Friday 30 October 2009

≈ Tagline: Sebuah Identitas! ≈

≈ KoKi Post – Old Gum Tree ≈


“sharing. connecting.” itulah tagline "The New Kompasiana" yang resmi diluncurKan bertepatan dengan hari ultah pertama Kompasiana tanggal 22 OKtober Kemarin – suatu timing dan moment yang tepat, dimana berjuta-juta mata menunggu, baiK penggemar, “pengintip”, maupun “rival”.

Tampilan dan logo Kompasiana yang “baru” sudah dibocorKan secara online dan disosialisasiKan beberapa hari (2 hari?) sebelum acara HUT. Dua Kata (“sharing.” dan “connecting.”) yang ditulis dalam huruf Kecil dan diaKhiri dengan titiK untuK setiap Kata dalam tagline tsb menggambarKan “mission” dan “promise” Kompasiana untuK berbagi dan berhubungan dengan “real people” buKan anonym. Tanda “titik” seKaligus menegasKan “brand” atau image Kompasiana yang siap mengaKomodasi “orang beneran” yang bersedia untuK sharing dan connecting.

Bagaimana dengan logo? Dengan menggunaKan huruf Kecil untuK huruf pertama “K” di logo tsb, Kompasiana seolah-olah ingin mencitraKan bahwa Kompasiana untuK “siapa saja”, tanpa memandang bulu ataupun gelar aKademiK ~KhiK~KhiiK~KhiiiK~™. Sementara huruf Kedua, “O”, direpresentasiKan dengan “bubble” yang mungKin mengingatKan Kita pada logo google groups. Secara lugas, Kompasiana telah berusaha untuK mengidentifiKasiKan dirinya sebagai wadah atau Komunitas yang mau menampung topik “apa saja”. ApaKah dalam praKteKnya demiKian? ApaKah Kompasiana sudah “being true to its BRAND?”

Menurut Tagline Guru, tagline idealnya digunaKan secara Konsisten, berbarengan dengan logo. Dalam hal ini, secara Kasat mata, sepertinya Kompasiana sudah melaKuKannya, dimana “sharing. connecting.” mecungul tepat dibawah logo Kompasiana. Karena sudah menempatKan “mereK”nya di welcome page nya, Kompasiana taK merasa harus memasang slogan tsb di setiap artiKel.

Change Tagline = Change Identity?

Menurut Nolo’s Legal Marketing Blawg, mengganti tagline buKanlah sesuatu yang diharamKan terlebih apabila bisnis atau produK yang dijalanKan berubah seiring tuntutan zaman/pasar atau faKta di lapangan.
“The point is that taglines aren't set in stone; if your practice takes you down another path -- as it invariably will -- just change your tagline.”

Selanjutnya Nolo’s Blawg mencontohKan bahwa McDonald saja sudah mengubah slogan nya sebanyaK 23 Kali dalam Kurun waKtu 45 tahun. Hmm … menurut KalKulatorKoe, Kira-Kira seKurang-Kurangnya dua tahun seKali ganti slogan.

Gimana seeh membuat slogan yang nendang? Dalam menjawab How to Create a Rock-Solid Tagline That Truly Works, James Chartrand membeberKan tiga hal penting yang wajib dijadiKan bahan pemiKiran dan pertimbangan: MISSION, PROMISE dan BRAND. Intinya, supaya tagline-nya optimal, ketiga unsur ini harus menunjang satu sama lain.

Sementara itu, Top Tagline Do's and Don'ts nya Larry Chase juga patut untuK dijadiKan referensi. Salah satu “DO” yang dianjurKan oleh Larry Chase adalah meminta pendapat “orang luar” yang tidaK bergelut di bidang yang sedang Kita Kelola tentang “draft” tagline Kita. Dengan Kata lain mintalah pendapat dari “non-paKar”:
Ask the opinion of an outsider. Run your proposed tagline by people who have nothing to do with your industry. It's a good gut-check, especially if you are a public firm or are thinking of going public.
(Sayang Larry Chase tidaK menjelasKan apaKah hasil polling “orang dalam” dalam memilih dan menentuKan pilihan tagline/logo merupaKan sesuatu hal yang layaK ditiru atau dilaKuKan.)

Supaya aman, gimana Klo urusan tagline diserahKan Kepada yang “professionals” ajah? Dalam postingannya, di Legal Marketing Blawg, Carolyn Elefant dengan tegas menyaranKan: Don't outsource your tagline to "professionals" (poin no. 3) dengan penjelasan sbb:

Over at Legal Practice Pro, Jay Fleischman cautions against outsourcing your marketing vision to professionals, advice that applies with equal force to taglines. A marketing professional may devise a tagline which sounds terrific but that doesn't accurately convey the essence of your practice, in which case, it simply won't feel genuine. Or worse, a professional can create a tagline that you're uncomfortable with or embarrassed to use. As Fleischman says, a marketing pro can help you implement a marketing vision, but you have to do the legwork in figuring out what kind of image you want your tagline to communicate.

Berbeda dengan Carolyn Elefant, Larry Chase tidaK begitu mempermasalahKan keterlibatan professionals dalam urusan tagline. Hanya saja Larry menyaranKan agar hal ini dipiKirKan dengan matang dan jangan tergesa-gesa: Don't rush it, especially if you're going to put sizable budget behind a tagline.

Beberapa “paKar” yang artiKel nya dibahas di sini memang lebih banyaK berbicara tentang tagline buKan logo. AKan tetapi … IMHO, mungKin agar produK yang dijual laris manis, taK ada salahnya apabila urusan logo diserahKan Kepada “ahlinya”, tentunya dengan masuKan dari Klien yang aKan dibuatKan logo dan riset dari pembuat logo professional tsb terhadap Klien/produK yang dimaKsud – buKan seKedar “gaya-gaya-an” untuK memberi Kesan profesionalisme suatu “Business Enterprise” atau untuK menunjuKKan “Ketajiran” si Pemesan logo.
**Sssst … logonya dah dipesan secara pro dan dah jadi. Izab Kabul bulan depan?**

No comments: